Surat Kumala
Hari-hari berlalu, biasa saja. Tak ada tegur sapa antara mereka, Kumala
dan Hakim. Mereka larut dalam kesibukan masing-masing. Seperti air mengalir,
membawa semuanya menuju hilir.
Malam purnama kali ini, Kumala menunaikan salat dua rakaat. Di meja
belajarnya nampak pena dan kertas. Lama benar ia termenung di meja belajar itu.
Saat akan menggoreskan penanya, ia kembali menariknya. Ia kembali meletakkan
pena di atas meja. Pena itu ia raih kembali, kemudian ia meletakannya lagi. Entah
berapa kali, hal itu berulang terjadi.
-------
Teruntuk Hakim...
Assalamu’alaikum.
Teriring doa semoga kita
semua dalam lindungan Allah azza wa jalla.
Sesungguhnya Allah Maha
Benar dan tidak malu terhadap kebenaran. Dengan memohon rahmat dan ridho-Nya,
surat ini ku tulis. Dengan sangat hati-hati aku menorehkan setiap kata yang
berjalin-jalin menjadi kalimat dalam surat ini. Berharap semoga surat ini dapat
menuai titahnya.
Selama ini aku terlelap
dalam dunia yang gemerlap. Ku mengira bahwa kebahagiaan manusia adalah saat ia
menuruti semua apa yang diinginkannya. Ku mengira awal kebahagiaan manusia
adalah ketika ia punya harta.
Selama ini aku terperosok
menjadi rongsokan di tengah-tengah manusia. Selama ini aku terjebak dalam hiruk-pikuk
gemerlapnya kota. Selama ini terjerembab dan menuruti hasrat bejat
kebinatangan.
Selama ini aku belum dapat menangkap
pesan-pesan cahaya yang lahir dari fitrah insani. Seterang apapun, segemerlap
apapun lampu jalan kota, seterang apapun purnama, tetap saja masih ada
manusia-manusia yang gelap katup, gelap kelam dalam dirinya, tersesat dan
bergumul dalam hasrat bejat kebinatangan, menuruti hawa nafsu yang tak pernah
kunjung usai.
Selama ini aku melupakan
diriku, selama ini aku memperbudak diriku. Selama ini aku lalai menyadari bahwa
Allah begitu menyayangi setiap hamba-Nya, Rasullullah begitu hirau akan nasib
umat manusia. Kemuliaan manusia selaras dengan ketaatannya kepada titah Sang
Pencipta, Sang Kuasa, Sang Penggenggam Alam Raya.
Malam purnama itu,
kepergianmu, dan jawaban terakhirmu, telah menyentak kesadaranku, menelusuk
jauh ke dalam sanubariku. Kata-kata yang dulu sangat ku benci, Gadis Tragis,
Gadis Bebal. Rasaku saat itu sangat menolaknya, seperti aku sekujur bangkai
yang tak berharga, menebar aroma busuk, yang membuat setiap orang jijik
melihatnya, jijik membayangkannya.
Kau tahu, semester dua yang
lalu, kerisauanku sedang dalam puncak-puncaknya. Aku telah sempat bercerita
kepadamu tentang aktivitasku selama ini, tentang remuk berantakannya orang
tuaku. Nasihat-nasihatmu, sering menjadi penawar gusarku, sering menjadi
peneduh hariku, walau tak pernah aku lahirkan.
Kau sudah terlampau sering
mengingatkanku bahkan mengajakku untuk bersama berjuang dalam organisasi
ekstramu. Maaf, jika saat itu saya berkeras hati. Saat itu aku dalam belenggu
dan lingkaran setan yang tak tahu bagaimana harus mengakhirinya. Saat ini ku
sadari, betapa indahnya, betapa tenteramnya jiwa orang-orang yang selalu
menyandarkan diri kepada titah Sang Penguasa.
Andai saja sejak dulu aku
seperti ini. Andai saja sejak dulu aku menggabungkan diri di majelis-majelis
yang menata diri kepada kebaikan, mengajak manusia menuju kebaikan. Untuk bersama
merasakan indahnya iman, untuk bersama merasakan indahnya dakwah. Padahal kebanyakan
manusia menginginkan hal ini. Ini wujud sesalku atas lalai yang ku serakkan dalam
kehidupanku.
Akhi, hari esok begitu
misteri, ia begitu pemalu mengisahkan dirinya kepada manusia. Aku, kau pun tak
tahu apa yang akan terjadi. Satu harapanku, satu doa yang senantiasa ku
panjatkan, semoga Allah menetapkanku, mengukuhkan hatiku berjuang dalam jalan
dakwah ini. Aku sekarang menata diri, aku sekarang membenahi diri untuk menjadi
madrasah terbaik bagi putra-putri lucuku nanti, jika Allah masih memilihku,
jika Allah masih mempercayaiku.
Ku tulis surat ini dalam
suasana purnama yang syahdu, rembulan dan bebintang sedang girang-girangnya
menyimbahi cahaya kepada penduduk bumi. Andaikah Akhi bisa menyinari,
membimbing cahaya kecil di hatiku?
Wassalam.
Akhwat Hijrah
Kumala Syahputri
-------
Perjuangannya untuk menulis surat ini tidaklah mudah. Ia tidaklah lagi
seberani dulu, saat purnama yang lalu. Kecanggungannya, keinginannya, bercampur
aduk malam ini. Akhirnya pena telah menunaikan tugasnya menuliskan rasa yang terpendam dari tuannya. Kertas telah merekam luapan rasa tuannya.
Komentar
Posting Komentar