Balasan Surat Kumala





Hakim masih saja tenggelam asyik dalam bacaannya, sementara waktu terus berganti, bergulir, berlomba, sedetikpun yang terlewatkan tak akan pernah kembali. Bahkan jika seluruh perbendaharaan harta di muka di tukargulingkan. Perjuangan melepaskan kecanggungan yang amat berat haruskah terjawab dengan kelupaan? Padahal tak mudah Kumala menitikkan huruf demi huruf, menorehkan kata demi kata, hingga terjalin utuh menjadi sepucuk surat.


Tidakkah ia tahu bahwa Kumala, wanita yang telah hijrah itu, menunggu balasan suratnya. Apakah kejadian malam purnama itu benar-benar telah membuatnya harus menghujat Kumala berulang kali? Masihkah ia harus mencapnya dengan cemooh yang bahkan tak diinginkan oleh siapapun? Surat misterius yang masih saja misterius dalam tas.


Rutinitas hariannya, membuatnya benar-benar larut. Ia sampai lupa akan surat misterius dalam tas itu. Mambang kuning di ufuk barat terdesak oleh gelap perlahan demi perlahan mulai hengkang. Azan magrib telah berkumandang, panggilan yang meneduhkan setiap jiwa untuk kembali kepada Sang Penguasa Semesta Raya, Hayya alash-Shalah, Hayya alal-Falah.


Di seberang sana Kumala masih menantikan balasan surat itu. Sesekali ia kerap menyalahkan dirinya, ragam macam prasangka membuntuti. Jika saja ia tidak menulis surat itu. “Sampai sebegitu beraninya saya menulis dan mengirim surat itu!”, “Kok, belum ada balasannya?”, “Apa belum sampai suratnya?”, seribu satu tanya, menari-nari mengitari. Apalah daya surat telah dilayangkan, belum juga ada jawaban.


Waktu terus bergulir, Hakim dalam rutinitasnya yang khilaf akan keberadaan surat dalam tas. Kumala dengan seribu satu tanya, menanti balasan yang tak kunjung tiba. Sejak jumat hingga ahad, Hakim tidak ada jadwal kuliah. Saat demikian ini akan banyak menyibukkan diri di organisasi ekstranya, tas kuliahnya ia titipkan di kamarnya.


Ahad malam ia kembali ke kamar. Menyiapkan beberapa untuk persiapan kuliah senin besok. Saat itulah ia melihat surat misterius itu. “Ah, ini surat Kamis lalu!”, segera saja ia melepas amplop surat itu. “Surat dari siapa ya?”, bisiknya.


Matanya hanyut pada setiap bait dalam surat itu. “Ini tulisan tangan Kumala”, ia mengenal tulisan tangan itu. Ada senyum tulus tersimpul di bibirnya. “Alhamdulillah!”, ucapnya. Konsentrasinya terpusat pada bait surat terakhir. Beberapa kali ia coba membaca kembali dan ternyata tulisan tangan tetap tidak berubah. Ia mulai mencubit kulitnya, kemudian mencubit kembali, “Ah, sakit! Ini bukan mimpi”, ucapnya.


Setelahnya lama benar ia termenung. Mimik bahagia yang tertahan dan keraguan yang menghantui. Pikirannya benar-benar kalut malam itu. Ia memikirkan orang tuanya, kedua adiknya, kuliahnya, cita-citanya. Akhirnya ia putuskan mengambil telepon selulernya, mengirimkan pesan kepada Kumala. 


“Assalamu’alaikum..
Suratmu telah kubaca. Afwan, saya masih punya cita-cita yang harus saya wujudkan..
Syukran..
Wassalam..”


Demikianlah balasan surat kumala. Ungkapan itulah yang paling baik menurut Hakim saat itu. Di tengah kebimbangan yang amat, tuntutan untuk menyelesaikan kuliah. "Anak pertama selalu menjadi harapan bagi orang tua, ia diharapkan mengangkat nama keluarga, diharapkan menjadi jembatan kesuksesan bagi adik-adiknya", kata-kata ini yang paling ia takuti dan ia coba perjuangkan.






Komentar

Populer