Sesal-Doa Kumala
Rasanya bercampur aduk, kian tak terkendali. Air matanya semakin deras
bercucuran. Ternyata retasan air mata pertama itu telah mengundang sedu dan
sendu.
Di belakangnya, nampak banyak terserak tapak-tapak yang dipenuhi kawah
hitam. Recik-recik merah bersimbah di beberapa tempat akibat pergumulannya
dengan kebejatan. Tak mungkin ia dapat merajutnya kembali. Masa lalu terlalu
jauh untuk dijamah, jauh dan semakin jauh.
Pekik musik dunia malam sayup-sayup di telinganya, menyeru untuk bergoyang
kegirangan. Ia terhenti pada gelagak tawa para lelaki bejat itu, kini menjadi
cemooh, sebagai dentingan nista. Kalimat terakhir lelaki tadi, gadis tragis,
gadis bebal, membawanya menyusuri kembali lorong kumuh, gelap katup yang
dipenuhi kawah hitam, recik merah, bau.
Purnama ini takkan mampu menerangi masa lalunya. Bahkan walau purnama
ditautkan dengan mentari bersama semua sinar dan cahaya yang beragam di muka
bumi ini. Ia menemukan dirinya yang melepaskan marwah, turut dalam hasrat durja
kebinatangan. Masa lalu semakin tak terjamah, ia terkuci dalam benteng kaca
yang kuncinya sangat rapat, hanya bisa dilihat-lihat saja, tanpa dapat berbuat
apa-apa.
Purnama yang benderang. Gadis tragis, gadis bebal, menyentak dirinya
untuk kembali bercermin. Ia menengadahkan hatinya, menatap kesyahduan semesta,
meratapi segala salah yang ia serakkan. Telinganya yang dulu berkatup dari
nasihat-nasihat, hasrat durja yang dulu ia sangat banggakan, kini ia sadari.
Ia kini mengiba kasih langit. Tergeletak dalam sesal sendiri di malam
purnama itu. Ia tidak meminta masa lalunya untuk bersih dan bersinar, ia tak
meminta terrajutnya robeknya masa lalu, ia tak meminta utuhnya syaraf yang
terputus karena minumas keras. Ia mengiba kepada langit untuk memberinya
seberkas sinar yang bisa menuntunnya melewati misteri di depan sana.
“Untukmu pemilik purnama. Untuk apa rupa yang elok? Untuk dipuji para
lelaki? Untuk apa kulit putih yang ku rawat ini? Untuk apa harta, mobil mewah
yang ku kumpulkan selama ini?”
“Untukmu pemilik purnama. Aku lalai, terlalu girang aku dulu terjerembab
dalam hasrat durja. Separuh usiaku telah ku habiskan dengan menuruti hasrat
durja itu...”
“Untukmu pemilik purnama. Aku tak meminta Kau bersihkan namaku dari
cemoohan manusia. Aku tak meminta kegemilangan nama di pentas bumi ini. Aku tak
meminta Kau merajut kembali masa laluku yang sudah tersobek-sobek...”
“Cukup.... Cukup sudah. Kau pemilik purnama, aku akui, terlalu banyak
kawah hitam yang ku serakkan di sepanjang perjalananku. Aku akui selama ini
kedurjaanku telah mencapai puncaknya. Aku tak meminta itu. Aku tak meminta masa
laluku untuk bersinar. Aku takkan meminta itu...”
“Untukmu pemilik purnama. Pinjamkan aku, pinjamkan aku seberkas sinarmu,
untuk menerangi gelap katupnya diriku ini. Pinjamkan aku, pinjamkan aku
seberkas sinarmu, untuk menerangi dalam menyusuri jalan misteri yang terus
kemari...”
“Untukmu pemilik purnama. Pinjamkan aku, seberkas sinarmu, tetapkanlah ia
dalam hatiku, untuk menjadi penyetir langkahku...”
Air matanya
kian deras meretas, seperti bulir-bulir permata. Mencairlah kini kebekuan yang
selama ini telah menumpuk, bertindih-tindih tak beraturan. Air matanya malam
itu, membawa kesejukan yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia belum beranjak
dari tempat itu.
Komentar
Posting Komentar