Namaku Kumala, Bukan Gadis Tragis

Masa laluku adalah kegelapan. Bercokol dalam lumpur nista. Akulah wanita yang disebutnya Gadis Tragis itu. Bukan, namaku Kumala. Gadis tragis, gadis bebal, kalimat terakhir yang ku dengar setelah suasana yang cukup syahdu di malam purnama itu. Ia meninggalkanku dalam kesendirian, dan purnama yang indah pun telah beralih menjadi gerhana di hatiku. Kisah purnama itu, akulah yang memulainya.



Padahal aku juga ingin seperti wanita lainnya. Sudah terlalu lama aku terdampar dalam lembah dosa. Aku juga ingin seperti wanita lainnya, wanita yang baik-baik, yang mengenakan hijab, yang manut titah agama.


Telah lama aku merasakan gusar, kekeringan yang payah. Semakin aku masuk ke dunia gelap itu, semakin meronta batinku. Semakin aku tenggelam dalam teriakkan musik dunia malam, semakin merintih kalbuku, semakin terjarah ketenanganku. Jeritan batinku semakin melengking dari waktu ke waktu, walau isaknya tak pernah terlahir di dunia.


Tak hanya sebatas tenggelam dalam musik dunia malam, aku juga sudah beberapa kali meneguk minuman beralkohol, mulai dari anggur kolesom cap orang tua yang rendah kadarnya, juga yang bermerek dan dilegalisasi oleh aturan, sampai minuman keras oplosan, campuran dari berbagai minuman beralkohol.


Pernah suatu malam aku dan banyak teman-teman setanku, yang kebanyakan lelaki berpesta, dalam istilah kami party. Mata para lelaki setan itu memerah, tak sekadar memerah karena mabuk alkohol. Minuman keras bertumpah ruah di malam bejat itu. Mulai dari botol yang berbentuk seperti botol pisang ambon yang dijual di toko-toko sembako, ada yang berbentuk seperti botol para penjual bensin emperan, juga ada yang berbentuk segi empat pipih. Jenis yang terakhir ini jika disentuhkan nyala api, ia pun terbakar, mudah terbakar seperti bahan bakar.


Aku Kumala, tak ingin menjadi gadis tragis. Aku Kumala tak ingin menjadi gadis bebal. Namaku Kumala. Aku kini ingin menjadi wanita baik-baik, seperti teman-teman wanita seperjuanganmu. Aku juga ingin menjadi seperti wanita-wanita yang sama-sama berjuang bersamamu. Bahkan aku ingin kau membimbingku, mendampingiku dalam proses menuju itu.


“Namaku Kumala”, dari dua sudut matanya, kanan dan kiri, butir-butir air menetas. Lelaki itu telah hilang dari pandangannya, semakin jauh. Air matanya malam itu, meneduhkan jiwanya, membebaskan jiwanya yang selama ini terjajah. Air mata itu menenteramkan jiwanya yang selama ini telah terjarah oleh dunia hitam.


“Namaku Kumala”, rintihnya, “Aku ingin menjadi gadis baik-baik”. Kedua tangannya menyeka air mata kesejukan itu.

Komentar

Populer