Menanti Pesan Balasan





Pesan singkat itu telah terkirim. Ada seribu satu gejolak jiwa disana, ada kebimbangan, optimisme, sedikit penyelesan. Hakim masih menantikan balasan Kumala. “Semoga ia dapat mengerti”, harap berseling cemas. Bayang-bayang paragraf terakhir dari surat tulisan tangan Kumala baginya menggantung-gantung di langit-langit kamarnya.


Ia sesekali memejamkan mata untuk mengusir bayangan itu. Semakin ia mencoba, semakin melekat dalam ingatannya. Paragraf terakhir itu, benar-benar mengganggunya, menyelinap menjadi sayup-sayup suara Kumala menyimpuh kukuh di pendengarannya.


Beberapa kali ia mengumpan memejamkan mata, sekadar untuk melenakan mata agar turut dalam penjelajahan menuju alam mimpi. Tapi tidak berhasil walau telah beberapa kali mencoba. “Wahai jiwa yang gusar kembalilah kepada Tuhanmu, penawar yang paling ampuh adalah dengan mengingat-Nya”, ia teringat teks itu dari rekam bacaannya selama ini.


Malam telah melewati separuh perjalanannya. Putaran jam dinding menunjukkan pukul 2.45 dini hari. Hakim segera keluar untuk mengambil wudu. Setelahnya ia mendirikan salat ifititah ringan dua rakaat, ini merujuk hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan Abu Daud. Kemudian ia lanjutkan empat rakaat, setelahnya empat rakaat, kemudian ditutup dengan witir tiga rakaat. Hal ini dilakukan merujuk dari hadits dari ummul mukminin Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Al Bukhari. Lalu ia lanjutkan dengan tilawah, sembari menunggu kumandang azan subuh.


Setelah usai melaksanakan salat subuh berjamaah di masjid samping rumah, kembali ia mengecek telepon selulernya, belum ada balasan dari Kumala atau mungkin takkan ada. Ia masih saja menanti balasan pesan dari Kumala, dan tetap saja hingga embun di dedaunan melebur ke angkasa, telepon seluler itu masih saja senyap sepi.


Sebenarnya selain telepon seluler bisa mengirimkan balasan pesan itu melalui akun ­facebook Kumala. Kumala tidak seperti wanita pada umumnya. Ia memang memiliki akun facebook hanya saja ia tak terlalu rutin aktif. Sesekali saja muncul dengan untaian pesan-pesan dakwah. Tak ada swafoto wajah yang berseliweran, juga tak ada status galau di kronologi facebook-nya.


Sejujurnya, Kumala punya satu akun facebook lainnya, yang dibuatnya dimasa labil, dengan nama yang susah sekali dibaca. Hingga semester tiga akun facebook ini masih aktif, foto-foto gaulnya juga masih bertebaran di sana. Semenjak hijrahnya, foto itu dihapusnya semua, dan akun lama ini tidak digunakannya lagi. Memang tidak ada pilihan bagi Hakim, menunggu balasan pesan dari Kumala yang tak kunjung tiba, menuliskan surat sama seperti yang diperbuat Kumala, atau menemui Kumala dan berbicara langsung kepadanya.


Ia masih saja menanti, ada beberapa panggilan masuk tapi bukan dari Kumala. Ada juga beberapa pesan yang masuk juga bukan dari Kumala. Walau ia berharap setiap kali telepon seluler berdering, deringan itu karena panggilan dan pesan dari Kumala. Waktu terus bergulir, aktivitas lain berjalan saja, namun tak semanis dulu, kosentrasinya terpecah.


Setelah tiga hari lamanya, tepatnya kamis, harap cemas pun terhenti. Pada layar telepon seluler itu nampak nama “Kumala S.”. Pesan masuk dari Kumala Syahputri.


Bismillah.
Assalamu’alaikum.
Syukran Akh, setiap manusia punya cita-cita.
Aku siap bersabar dan berjuang”
Wassalam"



Komentar

Populer