Surat itu Terlupa
Seorang laki-laki datang tergesa-gesa. “Hakim! Ini ada surat”, ucap
lelaki itu sambil memberikan sepucuk surat di tangannya, yang di pegangnya
begitu erat. “Surat dari siapa?”, tanya Hakim. “Saya juga kurang tahu, saya
hanya di amanahkan dari teman tadi di mushola
untuk kasih ke Antum”, jawab lelaki itu. “Surat itu tidak diperbolehkan dibaca
oleh orang lain selain antum! Sudah dulu ya, saya ada kuliah”, sambungnya.
Lelaki tadi kemudian pergi, kata-katanya terakhir menyisipkan pertanyaan besar
bagi Hakim.
“Surat dari siapa ini? Kok
tak boleh dibaca orang lain?”, ia kemudian bergegas kembali. Mata kuliah hari
ini telah usai. Surat tersebut ia masukkan di tasnya. Surat yang misterius,
tanpa sisipan nama pengirim di amplop itu.
Hari yang terik, gerah rasanya. Menapaki jalanan aspal yang menguapkan
hawa panas hingga menembus sepatu. Ia terus saja berjalan, menyusuri pohon-pohon
rimbun yang berjejer di perjalanan pulang, untuk menawar gerah, mencari teduh
dari pepohonan itu. Di jalan itu, juga terlihat ramai mahasiswa, ada yang
menuju kampus, ada juga yang meninggalkan kampus. Ia masih saja terganggu
dengan surat misterius itu, terbayang ucapan terakhir lelaki kurir surat itu.
Ia mencoba mencari sepotong nama dari siapa, menelusuri seutas alasan
untuk apa seseorang mengirimkan surat untuknya. “Apa yang telah saya perbuat?”, “Ah, mungkin ada teman yang iseng saja”,
tanyanya membatin. Ia masih terus berjalan. Surat misterius itu telah
menyisipkan pertanyaan-pertanyaan, dalam kesendiriannya di susuran jalan itu,
pikirnya pun melayang-layang, berpindah-pindah, menerka-terka motif alasan si
pengirim surat. Juga menerka siapa pengirim surat itu.
Setelah tiba di rumah. Rasa lapar telah menagih haknya. Ia meresapi
nikmatnya makanan, sejenak ia khilaf akan surat itu. Setelah santap siangnya
usai, Hakim menuju ke kamar. Seperti biasa, ia segera ke perpustakaan
pribadinya untuk meneguk ilmu dari buku-buku koleksinya.
Baginya, membaca adalah berdialog dengan penulis. Menyesapi kata demi
kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, untuk mengerti maksud
penulis. Membaca juga berarti mengisi ruang-ruang kosong yang menganga dalam
berkas-berkas pikiran, meluruskan pemahaman atau pengetahuan yang membelot,
menerangi ruang-ruang yang masih gelap karena ketaktahuan.
Baca adalah perintah pertama yang dititahkan Tuhan kepada utusan
terkasih-Nya, manusia teragung Rasulullah Muhammad saw. Membaca adalah bagian
dari ikhtiar untuk menyempunakan simpul-simpul dianugerahkannya ilmu oleh Sang
Pemilik Ilmu, Maha Mengetahui. Huruf dalam bahasa Indonesia berjumlah dua puluh
enam, sangat sedikit di banding dengan kata-kata yang terbentuk darinya,
kalimat-kalimat yang terjalin atasnya.
Adalah suatu kerugian, jika matahari terbenam pada satu hari, dan manusia
tidak bertambah pengetahuannya. Padahal tiap detik tak akan pernah kembali
setelah ia berlalu, hari esok akan terus kemari dengan segala konsekuensi dan
kemisteriusan yang dikandunginya.
Ia asyik hanyut dalam bacaan, berdialog dengan sang penulis. Surat misterius
itu masih tetap misterius di dalam tasnya. Andaikah ia tahu surat itu dari
Kumala. Surat misterius itu, masih saja menanti untuk dibaca, menunggu sebuah
jawaban. Jikakah ia tahu bahwa surat itu adalah rekaman rasa, ditulis dengan
perjuangan berat melepaskan jubah kecanggungan.
Komentar
Posting Komentar