Meninggalkan Kumala
“Waalaikum
salam..
Afwan, andai
kau tahu beban di pundakku.
Sejujurnya
saya belum siap, orangtuaku juga tidak mengizinkan.
Jika ada yang
lain bersegeralah..
Wassalam”
Balasan ini tidaklah mudah Hakim merangkainya.
Beberapa kali ia mengetik lalu menghapusnya. "Anak
pertama selalu menjadi harapan bagi orang tua, ia diharapkan mengangkat nama
keluarga, diharapkan menjadi jembatan kesuksesan bagi adik-adiknya", kalimat yang
mendesaknya untuk menampik tawaran Kumala, yang sebenarnya ada sesal yang terus
coba ia pangkas.
Kumala telah banyak memancangkan kesan bagi Hakim,
tragedi malam purnama, surat tulisan tangan, juga balasan pesan Kumala. Tergeletak-lunglailah
ia dalam kebimbangan. Sorotan mata Kumala, juga dari surat dan balasan pesan itu,
tidaklah berpijak dari angan nan kosong, melainkan terbit dari pangkal hati
dengan rona ketulusan.
Ketulusan itu menadah. Ketulusan apik yang memantik
tampikan. Anak pertama adalah tumpuan harapan orang tua, jembatan kesuksesan
bagi adik-adiknya. “Kalau saja aku sudah sarjana, tak mungkin aku menampikmu”, rasanya
masih saja terganggu walau balasan pesan itu sudah terkirim beberapa hari yang
lalu.
Cinta sebenarnya adalah tentang keberanian,
kesediaan untuk berjuang bersama. Kehidupan telah dan terus menetapkan kudrat,
bagi sesiapa yang bersungguh-sungguh, bagi sesiapa yang berjuang, bagi sesiapa
yang terus berusaha, maka akan sampai pada titik yang diinginkannya. Kehidupan tidak
berjalan dengan semau-maunya, ia terikat tunduk patuh pada titah awal yang
telah digariskan oleh Sang Penguasa.
Hakim menjadi tidak khidmat menjalani kuliahnya. Ia
terus saja terganggu dengan tragedi malam purnama, surat tulisan tangan dan
balasan pesan Kumala. Apalagi dia dan Kumala seruangan. “Aku siap bersabar dan berjuang”,
selalu mendekap erat di pendengarannya. Disisi lainnya statusnya sebagai anak
pertama menjadi pertaruhannya.
“Semua yang berhubungan dengan Kumala akan saya
tanggalkan”, tekadnya. Benar saja, tas yang memuat surat misterius itu, berikan
kepada kawannya. Pakaian yang dipakainya saat tragedi purnama ia berikan juga
kepada temannya. Telepon selulernya juga dijualnya kepada tetangga kamarnya,
kemudian memberli telepon seluler baru.
Semua yang bertalian dengan Kumala ia mulai hempaskan
satu persatu. Bahkan dalam kulminasi bimbang, tanpa berpikir panjang ia
putuskan untuk pindah kampus. Kisahnya dengan Kumala tak pernah ia ceritakan
dengan orang lain, terkunci rapi kukuh dalam kenangan masa lalu, tak ada
seorang pun yang tahu, hanya terekam apik dalam catatan Rakib Atid, malaikat
penjaga yang selalu mencatat tak pernah lena setiap perbuatan manusia.
Hakim mencoba membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Untuk jauh dari bayang-bayang Kumala dan segala kesan yang telah ia pancangkan.
Hakim menjalani lembaram barunya di kampus yang baru dan Kumala entah bagaimana
kabarnya.
Komentar
Posting Komentar