Memoar di Mataram (Sebuah Kisah)
(Foto saat kegiatan Sekolah Jurnalisme Nasional Bidang Media dan Teknologi Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Pantai Kuta Lombok, NTB) |
Tak seorang pun tahu kemana alur kehidupan akan membawanya. Hari esok ialah sosok misteri yang sangat pemalu untuk menceritakan dirinya. Ia lembaran yang tak teraba tangan, tak tersentuh dalam pikiran. Tuhan menitahkan kepada sang masa selama 24 jam setiap harinya untuk terus hadir menyajikan kisah-kisah yang terkadang manis ataupun bahkan sangat pahitnya, yang sama untuk setiap manusia, tak jelata, pun pejabat.
Pagi itu kenangan berngiang-ngiang mengitari. Ragam rasa bercampur aduk. Ada rasa lapar yang melilit, pun rindu yang menyayat. “Dil, kau sudah sampai disini, Mataram. Kau mau kemana setelah ini? Yang pasti esok kau akan kembali di Kota asalmu, Kendari. Besok lusa, kau mau kemana?”, bisik ku membatin.
Hidup masih sangat misteri. Masa depan adalah ruang gelap kosong tak terdefinisi. Hidup adalah perantauan. Orang-orang yang mampu menjalani hidup dengan sempurna adalah para perantau. Mereka berani menantang kehidupan. Mereka telah menemukan kunci kehidupan, bahwa keberanian adalah kunci segala-galanya untuk menguasai kehidupan.
Sejarah telah menginspirasiku, untuk tetap tegar menatap kehidupan. Walau sesekali ia mengajakku untuk meratapinya. Namun tetap setitik cahaya keyakinan telah memecah kegelapan nuraniku. Realitas kembali mengajakku mengembarai sejarah pada lima belas abad yang lalu, kisah Muhammad dan para sahabatnya saat merantau ke Madinah. Mereka datang dengan tak mengikutsertakan kekayaan, hanya berbekal keberanian, dan pada akhirnya sampailah mereka pada kesuksesan.
Bukanlah kebetulan semata, waktu menuliskanku mengikuti Sekolah Jurnalisme Nasional Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Hidup begitu misteri, tak pernah terbesit sekejap saja bahwa dalam lembaran sejarah kehidupanku teruntai sedemikian kisah seperti ini.
Aroma senyum selalu menemani, kehangatan selalu mendekapi, rimbun kenangan telah menyesapi relung-relung kosong. Darinya, ada nilai yang mengisi beberapa puzzle kosong dalam pengembaraan mencari permaisuri hati. Bukan harus jilbab panjang, bukan pula wajah yang harus ditutupi cadar, yang ku cari adalah jilbab sederhana yang terjuntai melewati dada. Bukan harus baju langsung, tapi pakaian sopan yang tak mengelakkan harkat dan marbatat kemuslimahan. Ia yang mengerti benar dirinya sebagai muslimah.
Kecantikan adalah pesona pertama yang ku tangkap, tapi tak akan menjadi indikator utama dan satu-satunya dalam memutuskan permaisuri hati. Ia tidak hanya akan menjadi penghias hari, melainkan juga akan menjadi teman berjuang dalam dakwah ini. Saat ini saya sedang menyempurnakan simpul-simpul ikhtiar. Keyakinanku, akan ada saja cara Tuhan menuntunku menujumu.
Komentar
Posting Komentar