Maksud Hati Kembali ke Kampung (Cerita Petualangan)





Telah menjadi harapan setiap perantau yang ingin kembali ke kampung halamannya. Bukan hanya bersua dengan orang tua dan keluarga besar, juga ingin mengenang jejak-jejak yang sempat terukir dan terekam dalam kandungan waktu.


Seperti telah menjadi keharusan, bahwa ketika menemui suatu jejak, waktu akan menayangkan potongan-potongan kisah masa lampau yang seolah membawa pergi setengah jiwa. Sebelum akhirnya tersadar oleh belaian angin, teriknya matahari yang mengembalikan segalanya ke masa kini.


Sebelumnya akan menjadi biasa saja, tanpa ada yang istimewa. Namun, akan lain ceritanya, jika kekaguman terhadap indahnya alam, pemandangan saat-saat kebersamaan membuka ladang, bersama-sama memburu babi, belum lagi belaian dan kasih sayang seorang Ibu yang begitu menyayangi anak-anaknya, ditambah dengan suguhan Cinta Pertama dari seorang gadis di sepotong hari yang datang dan mengetuk hati. 


Kalau bukan karena sinaran mata, mungkin takkan pernah ku melihat ketulusan itu. Kalau bukan karena indahnya senyuman, mungkin takkan ku tetap dalam salah tingkah. Kalau bukan karena aroma kemuslimahan mungkin takkan aku ingat lagi aroma embun di pagi hari di pangkuan Bunda. Kalau bukan karena hasratku yang begitu besar takkan ku mengunjungi kampungmu dan menemui orangtuamu. 


Apalah lagi yang membuatku begitu meyakinimu kalau bukan karena kata-kata tinggimu itu yang menutup rasionalitasku, sehingga secara halus sedikit demi sedikit hilanglah dalam ingatanku bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Dalam bayangku langit tak setinggi itu, lautan tak sedalam itu, saat ku mengantongi restu dari orangtuamu.


Sorotan matamu dan cahaya ketulusan telah meruntuhkan segala ego dan sungkanku, lebih lagi disaat kau mencium tangan ini kedahimu. Kecantikan luar dan dalammu telah mengikat hati orangtuaku. Sirnalah segala keraguanku, tiada malam dan siang, tidak hujan dan terik, semua sama bagiku, ketenangan dan kebahagiaan meliputiku saat itu.


Tidak banyak porsi akalku untuk memikirkan yang lain, yang terpikirkan adalah agar aku menikahimu secepatnya, tidak terasa kuliahku berantakkan. Rasionalitasku telah terbang bersama bayangmu di sepanjang malam dan siang. Sekali lagi, waktu berkejar-kejaran, asam-garam terasa manis.


Hingga pada akhirnya, semua itu harus berubah saat kilat yang menyambar semua mimpi-mimpi indah tepat di depanku. Tanpa minta restu dariku kau pergi meninggalkan dan menghancurkan semua keindahan yang selama ini menyelimuti dan memenuhi relung hati. Begitu cepatnya kau meninggalkanku, belum juga aku tersadar dari kenyataan ini.




Komentar

Populer