Belajar dari Kera yang 'Belajar' (Sebuah Dialog)




"Belajarlah, sempurnakanlah sebab-sebab dianugerahkannya ilmu", tiba-tiba ia menyeruak. Telah lama sekali ia tidak menyapaku entah juga karena apa?


"Tentu! Orang yang belajarkan hidupnya menjadi mudah, apalagi diangkat jadi PNS, ekonominya akan cenderung stabil", jawabku.


"Tidak begitu! Tak boleh begitu! Jika belajar hanya untuk mencari kerja, lalu apa bedanya dengan kera di hutan", tandasnya.


"Beda! Kerakan tidak punya akal, kerakan hewan, beda dengan manusia", jawabku.


"Karena itu, kera dari kecil 'belajar' dari induknya dan sesepuhnya untuk bisa bertahan hidup atau meneruskan kehidupannya, setelah itu selesai, tidak ada yang lain", itu yang ku maksud.


"Apa artinya itu haram?", saya memastikan.


"Saya tak mau terburu-buru menghukumi. Lagipula hal demikian itu, tidak terlalu mendasar untuk dihukumi haram atau tidaknya", katanya.


"Terus, kalau begitu.....".


"Apa kau mau disamakan dengan kera?", potongnya. "Tidak hanya itu. Sengaja ku sentak supaya kau membuka mata".


"Hm.. Buka mata lagi! Selalu saja", kesahku.


"Yang saya maksudkan sebenarnya adalah agar kau tersadar, sebenarnya manusia hakikatnya itu lebih dari kera, lebih dari semua binatang, lebih dari semua ciptaan. Manusia jelas sebagai khalifah di muka bumi, wakil Tuhan di muka bumi, yang menurutkan untuk terimplentasinya kemauan Tuhan di muka bumi. Tentu ini tak boleh dimaknai sepihak, sebab dari pernyataan terkahir ini mungkin kau dan banyak orang lainnya yang akan mengelas lagi atau bahkan mengklaim", katanya.


"Maksudnya?", tanyaku.


"Tidak akan saya bahas dalam pertemuan ini terkait pernyataan terakhir. Yang saya maksudkan adalah manusia dengan akalnya dan seluruh potensi lainnya, berupaya untuk dapat memastikan bahwa kehidupan bumi, aman, tenteram, akan terus berlanjut dan langgeng dalam ketenteraman, kestabilan itu". Terusnya, "Ini bermakna bahwa pangkal dari proses panjang belajarnya manusia adalah untuk memenuhi tugasnya sebagai khalifah itu, wakil Tuhan di muka bumi itu!"


"Sampai segitunya?", tanyaku.


"Iya, di kehidupan dunia ini ada saja yang mengklaim bahwa bumi milik dan segala isinya adalah milik mereka, terserah mau diapakan dan manusia lainnya tak boleh mengganggu. Biasanya mereka ini adalah yang diberi atau diwarisi otoritas. Dengan otoritasnya itu, biasanya mereka menyeleweng, menjarah bumi dan segala isinya, juga menjajah manusia. Tidak hanya dengan perangkat otoritasnya itu, juga bahkan dengan senjata-senjata pemusnah massal, yang menghalalkan segala cara, adu domba dan lainnya. Sudah, cukup disini dulu. Dan kau tuanglah air panas ke susu itu, dari tadi kau tak memperhatikannya. Beri juga bagian perutmu", akhirnya.


"Baiklah!", dan dia pun menghilang. "Saya masih punya segudang pertanyaan, tapi biarlah. Kau tak jauh, selain aku bisa memanggilmu, dalam momen-momen tertentu kau bisa saja menyapaku.





Komentar

Populer