Risalah Rahasia dari Alam Intim

(Risalah Rahasia dari Alam Intim)


Di sepertiga penghujung malam terakhir. Nalar liarku memaksaku, menarik-narikku masuk ke dalam satu alam khayali. Alam yang entah ada seorangpun selain diriku pernah memasukinya. Alam yang sangat intim, yang sangat privasi. Nalar menyeret-tarikku ke alam itu. Dunia yang lain, hanya ada aku dari diriku disitu, Rasaku, nalarku, mengenali, mengatahui, dan memahami itu.





Aku terduduk, termangu bagi orang yang melihat jasadku. Aku pun menyaksikan diriku demikian. Dalam pada itu, sebenarnya aku tengah merasakan getir-getir rindu, yang tak coba aku nampakkan bahkan pada mimik wajah. Hanya desahan nafas yang semakin memberat, degup jantung pun makin tertantang.





Dalam pada itu, aku melambung kembali mengitari masa lalu. Seseorang yang berwajah purnama. Memegang setangkai mawar imitasi, menyusuri jalan-jalan kota yang riuh pada hari yang terik. Ia tetap saja berjalan di riuh dan bising kendaraan di jalan raya, seakan tak peduli dengan semua itu, atau memang ia abai. Senyum di bibirnya masih saja tersimpul indah.




Aku melihatnya, menatap damai senyum itu, mengingatnya persis, namun ia tak melihatku saat ini, sementara aku turut berjalan di dekatnya terus mengiringinya persis di sisi kanannya. Aku kini tak perlu khawatir menatap senyumnya itu, karena ia tak akan melihatku. Mawar itu ada tiga ia pegang setengah erat dengan tangan kanannya.


Mawar imitasi tapi bukan untuk mainan. Tentu saja mawar itu tidak berduri, daunnya pun tiada hanya kembang saja berwarna-warni. Di bawah kembang itu ada kertas yang bertuliskan sesuatu. Aku ingin tahu apa isi tulisan itu, tapi tentu saja aku tak bisa. Bukan karena aku memang tak bisa melihatnya, tapi memang demikianlah kejadiannya.


Disini tentu aku melihat diriku bersamanya, beriringan. Dengan penuh ramah ia memberikan mawar itu, tentu tetap dengan simpul senyumnya yang khas dan suara ayunya. Melihatnya saja saat ini bahkan rinduku tetap dan menjadi semakin merekah. Aku melihat diriku bersamanya, untung saja saat itu aku sempat mengabadikan momen itu, berhasil mengabadikan senyumnya. Ya menggunakan kamera Canon EOS DSLR 700D. 


********


Setelah itu semuanya menghilang, tinggallah kerinduan yang meliputiku. Aku telah ridho menjadi sengsara dalam belantara rindu dan semakin bahagia dalam kesesatan rindu. Suara ayumu menjadi seberkas cahaya yang lantas menghilang namun kukuh mengiang dalam ingatan. 


Wajahmu seperti hilal, yang kucari-cari dan sering tak ku jumpai. Keelokanmu bak purnama yang hanya dapat ku intai dari jauh, dan aku belum dapat merawatnya seperti aku merawat bunga rindu ini. Aku terseret dan tersesat di belantara rindu. Hanya pinta ku untai rendah dalam setiap sujudku.


Mereka sering kali mengatakanku gila. Kegilaanku padamu, cintaku dan rinduku. Mereka tidak tahu bahwa di dunia ini, cinta dan rindu adalah penyakit yang tak bisa disembuhkan. Atau juga mungkin mereka tak pernah mencintai dan merindui.


Mereka hanya bisa menuduhku gila, namun itu tak akan meredam cintaku, rinduku. Bahkan itu membuatnya semakin bergelora, seperti kobaran api yang disiramkan air. Mereka takkan bisa mengobati dan mengatasi cinta dan rindu ini, selainmu, selain kamu. Adakah selainmu?


Bahkan kamu mampukah kau memadamkannya, cinta dan rinduku? Cinta dan rindu ialah anugrah Tuhan, manifestasi sifat utama Tuhan yang Maha Agung. Karena cinta dan rindulah alam semesta dan kehidupan ini ada.


Bagi seorang pecinta sepertiku, cinta dan rindu itu akan tetap bersemayam dalam dadaku, berkobar-kobar menggelegar, tapi tak akan membahayakan yang lain. Terus bertambah-tambah bahkan jika kau disampingku, bersamaku, atau bahkan dalam pelukanku.


Cinta dan rindu bukanlah satu materi yang teraba oleh indra. Mereka mengejekku karena mereka tidak mampu merabanya, bahkan tidak juga merasakannya. Sesaknya dada, beratnya nafas, lamunan tinggi, gumpalan air di pelupuk mata, semua itu, mereka tidak tahu, tidak merasakannya, berat dan nikmat, siksa, rasa, dan asa.


Bahkan aliran darah, detak jantung yang menanjak, angin sepoi-sepoi, aku menjadi mati rasa dari dunia luar. Berat dan nikmat, ada siksa yang dibaluti asa dalam munajat doa. Aku menyerah namun bertahan. Aku tenggelam namun bernafas, aku tersesat namun menujumu. Munajatku, pinta ibaku, "Sempurnakan cintaku padanya, utuhkan cintaku padanya, pertemukan aku padanya dalam ridha-Mu".



Komentar

Populer