Penggalan Kisah Kendari - Surabaya - Lombok
Berangkat dari Kendari menuju Surabaya pada Rabu, 13 Januari 2015 sekitar pukul 13.34 WITA. Ya, benar dugaan anda, waktu tersebut adalah saat Saya dan rekan saya Ulfa, beranjak dari ruang tunggu menuju ke kabin pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 727. Faktanya waktu yang tertera pada tiket adalah 12.55 WITA. Jika ditanya mengapa demikian, karena WITA itu singkatan dari Waktu Itu Terserah Anda.
Dengan cepat pesawat Boeing 737
buatan Amerika itu melaju ke udara menyusuri dan menantang langit. Di atas
awan, segenap rasaku tertawan, menampak kasih cipta Ilahi.
Betapa tidak gumpalan putih menggantung tanpa ikatan dan sandaran. Disini pun terlihat rimbun bongkahan pulau dan luas samudera membentang, ragam kehijauan menghiasi. Sungguh! Keindahan ini begitu kuasa. Tayangan-tayangan keindahan itu menemani sepanjang perjalanan. Penerbangan dari Kendari menuju Surabaya sekitar dua jam, puas rasanya menyantap panorama indah itu dibalik kaca dengan nomor kursi 8E.
Betapa tidak gumpalan putih menggantung tanpa ikatan dan sandaran. Disini pun terlihat rimbun bongkahan pulau dan luas samudera membentang, ragam kehijauan menghiasi. Sungguh! Keindahan ini begitu kuasa. Tayangan-tayangan keindahan itu menemani sepanjang perjalanan. Penerbangan dari Kendari menuju Surabaya sekitar dua jam, puas rasanya menyantap panorama indah itu dibalik kaca dengan nomor kursi 8E.
Sekitar pukul 15.40 WITA pesawat
ekor merah bersimbol kepala singa itu mendarat di Bandara Juanda Surabaya. Di Bandara
Juanda terdengar suara seorang wanita, “Ting... Ding... Ding... Ding... (tanda
akan ada penyampaian atau pemberitahuan). Panggilan terakhir kepada rombongan
Bapak H. Ismail, Rombongan Ibu Hamsina, dan penumpang pesawat Garuda Indonesia tujuan
Jakarta, agar segera memasuki kabin pesawat. Sebentar lagi pesawat akan segera
berangkat. Terima Kasih.”
Pemberitahuan itu memang biasa saja, tak ada yang istimewa. Hanya saja, pada pengumuman itu terdapat penggalan kalimat sakral, yaitu ‘panggilan terakhir’ dan ‘sebentar lagi’. Sekitar lima menit setelah pemberitahuan itu, bel berbunyi lagi, dan masih dengan susunan kalimat yang sama.
Lima menit setelah itu suara wanita itu bergema kembali, pun masih dengan susunan kata-kata yang sama, ‘panggilan terakhir’ dan ‘sebentar lagi’. Betapa anehnya republik ini, setelah ruang tunggu, ternyata masih ada juga panggilan tunggu dengan penggalan kata ‘panggilan terakhir’ dan ‘sebentar lagi’. Panggilan terakhir semestinya berarti tidak akan ada panggilan setelahnya, dan penggalan kalimat ini semestinya tidak digunakan untuk menggertak, sebab hanya akan melahirkan manusia-manusia kebal (apatis) aturan.
“Ting... Ding... Ding... Ding... Disampaikan
kepada penumpang Lion Air dengan nomor penerbangan JT 624 tujuan Lombok Praya diharapkan
agar memasuki kabin pesawat melalui Pintu 5. Terima kasih.” Ku menatap
di sekeliling, nampak senyum tersimpul di wajah para penumpang.
Betapa tidak kami sudah menunggu sekian jam, ragam aktivitas telah dilakukan, berbaring sambil membaca buku, mengotak-atik telepon seluler, memandangi ikan di aquarium, dan aktivitas-aktivitas biasa lainnya, kecuali rokok, tak ada satupun penumpang yang merokok di ruang tunggu pesawat, meskipun menunggu kurang lebih dua jam. Telah ada ruang khusus yang disediakan untuk para perokok, tetapi sebagian perokok enggan untuk mengunjunginya, dengan alasan di ruang khusus terlalu banyak kepulan asap, mereka lebih memilih untuk tidak merokok sampai di tempat tujuan.
Betapa tidak kami sudah menunggu sekian jam, ragam aktivitas telah dilakukan, berbaring sambil membaca buku, mengotak-atik telepon seluler, memandangi ikan di aquarium, dan aktivitas-aktivitas biasa lainnya, kecuali rokok, tak ada satupun penumpang yang merokok di ruang tunggu pesawat, meskipun menunggu kurang lebih dua jam. Telah ada ruang khusus yang disediakan untuk para perokok, tetapi sebagian perokok enggan untuk mengunjunginya, dengan alasan di ruang khusus terlalu banyak kepulan asap, mereka lebih memilih untuk tidak merokok sampai di tempat tujuan.
Waktu tempuh dari Surabaya menuju
Lombok Praya melalui jalur udara kurang lebih tiga jam. Pesawat melaju cepat ke
angkasa.
Dari kursi 34B saya memandang keluar kaca, terpesona memandang cantik molek kelap-kelip ragam warna menghiasi bumi, ada merah, kuning, putih, biru, bermacam ukuran ada kecil, sedang, ada pula yang besar, tersebar tak hanya di darat tetapi juga di laut oleh kapal-kapal nelayan (bagang). Begitu sempurna jejak tangan Ilahi.
Betapa tidak, penduduk bumi begitu terkesima dengan keindahan langit dipenuhi bintang-gemintang berwarna-warni, pun ternyata bagi penumpang pesawat di malam hari di ketinggian menampak ragam-ragam warna itu pun ada di bumi. Sejenak aku teringat ceramah isra mi’raj di Masjid Al-Hijrah Kelurahan Wua-Wua Kecamatan Wua-Wua Kota Kendari yang menyampaikan, langit yang luas ternyata iri terhadap bumi, hanya karena di bumilah lahir manusia yang paling cakap untuk diteladani aktivitasnya dalam seluruh dimensi kehidupan yaitu Rasulullah Muhammad Saw, sehingga mengadu kepada Allah Swt untuk memperjalankan manusia ma’sum itu dan berjalan-jalan di atas punggungnya. Betatapun indahnya langit, betapapun langit dipuja-puja, bumi tempat kita berpijak tak kalah indah, di siang atau di malam hari.
Dari kursi 34B saya memandang keluar kaca, terpesona memandang cantik molek kelap-kelip ragam warna menghiasi bumi, ada merah, kuning, putih, biru, bermacam ukuran ada kecil, sedang, ada pula yang besar, tersebar tak hanya di darat tetapi juga di laut oleh kapal-kapal nelayan (bagang). Begitu sempurna jejak tangan Ilahi.
Betapa tidak, penduduk bumi begitu terkesima dengan keindahan langit dipenuhi bintang-gemintang berwarna-warni, pun ternyata bagi penumpang pesawat di malam hari di ketinggian menampak ragam-ragam warna itu pun ada di bumi. Sejenak aku teringat ceramah isra mi’raj di Masjid Al-Hijrah Kelurahan Wua-Wua Kecamatan Wua-Wua Kota Kendari yang menyampaikan, langit yang luas ternyata iri terhadap bumi, hanya karena di bumilah lahir manusia yang paling cakap untuk diteladani aktivitasnya dalam seluruh dimensi kehidupan yaitu Rasulullah Muhammad Saw, sehingga mengadu kepada Allah Swt untuk memperjalankan manusia ma’sum itu dan berjalan-jalan di atas punggungnya. Betatapun indahnya langit, betapapun langit dipuja-puja, bumi tempat kita berpijak tak kalah indah, di siang atau di malam hari.
Komentar
Posting Komentar