Adukan Prasangka



(Bagian XVII) | 14 Juli 2017


Enam tahun sudah Hakim meninggalkan kampus, meninggalkan teman-temannya, menitip kisah pada cerita yang tak usai padahal mestinya baru saja harus dimulai. Sesalannya belum tersampaikan, rasanya cukup mengendap dalam kesendiraian. Adalah Kumala wanita itu, dan ia begitu yakin bahwa wanita di pantai tadi. Ia masih ingat betul, seperti ia mengenali sendalnya sendiri.


Dilubuk hatinya merintih untuk bertemu dan mengobrol banyak. Menanyakan kabarnya, aktivitasnya kini. Ada sehelai sesal menghampiri lagi.


---


Tahun-tahun sudah berlalu, empat kali terjalani sudah puasa ramadan, empat kali pula telah mendapati Idul fitri dan idul adha. Empat tahun pula Kumala telah meninggalkan kampus. Empat tahun lalu diwisuda dan dinyatakan sebagai sarjana. Gaya jalan Hakim masih melekat erat diingatannaya.


Selama ini ia sudah pada puncak keputusasaan yang mencekik, ibarat kembang bunga yang sebentar lagi akan layu dan gugur kelopak-kelopaknya satu demi satu. Sepintas pertemuan di pantai walau tanpa menangkap suara dan melihat rona wajah telah menyuburkan kembali asanya.


Ada seribu satu pertanyaan yang ingin dia tanyakan, ada kerinduan yang ingin ia rebahkan perlahan, namun apalah daya. Ada rasa sungkan dan segan, bahkan untuk menanyakan kabar Hakim kepada Ahmad dan Ketut.


Dibalik itu, pikirannya kacau “Siapa wanita berjilbab merah marun tadi?”, tanyanya. “Adakah ia, istri Hakim? Ataukah calonnya?”, pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. “Bagaimana dengan penantiannya selama ini? Haruskah ia lapuk dan gugur dari tangkai yang sangai ia dambakan?”. Pertanyaan juga sesal menyelimuti, bergelantungan di langit-langit kamar, bahkan dari rembulan di atas sana.


Selepas salat isya, hingga kini ia masih termangu. Begitulah jiwa tidak tenang, banyak menatap kosong tak berujung ke angkasa dari balik jendela. Di langit saat itu tak ada purnama. Rembulan masih sepotong di atas sana juga cahayanya redup sendu. Bebintang pun tak bersinar kemilau, mendung menyelimuti bergantung menghalau simbahnya cahaya.


Malam ini mata tak hendak lena. Syukurlah wudu dan penyerahan diri kepada Allah Penguasa Jagat Raya dengan bacaan yang dicontohkan Nabi menjadi pengantar tidur yang penuh damai dan selamat.


Kalau manusia hendak menurutkan rasa dan prasangkanya, maka tak akan ada ketenangan yang bertakhta. Ketenangan itu akan terusik sendiri oleh rasa dan prasangka-prasangka itu. 


Rasa dan prasangka itu seperti kuda liar, jika tak dikemudikan dan diarahkan secara baik, maka sangat boleh jadi ia akan mencelakakan pengendaranya. Sungguh takkan ada ketenangan bermukim dalam dada. Juga jika ia dikemudikan dan diarahkan secara baik, maka akan sangat membantu lebih cepat sampai ke tempat tujuan.





Komentar

Populer