Generasi Ketiga
Sumber gambar: pixabay |
Oleh: Haidir Muhari
Ibnu Khaldun seorang sosiolog kawakan, melakukan kategorisasi terhadap generasi suatu bangsa. Menurutnya kategorisasi itu terdapat tiga tahap. Tiga tahap yaitu lahir, mekar, dan menjadi tua serta akhirnya akan hancur.
Generasi pertama adalah generasi yang hidup dalam suasana yang keras dan sulit. Generasi ini banyak melahirkan para pejuang militan.
Ada teori kuno yang mengatakan bahwa militansi terbangun dari proses yang keras dan serba sulit. Perjuangan bersimpul dari imajinasi dan visi kolektif terpancang kukuh di setiap pejuangnya.
Generasi kedua artinya telah berhasil memasuki gerbang kemajuan. Terjadi pembangunan besar-besaran dan pemerataan yang signifikan.
Proyek-proyek pembangunan memberikan dampak perlahan tapi pasti, beranjak menuju kepada kehidupan yang lebih baik, menuju ke arah yang lebih beradab. Perebutan kuasa atas sumber energi dan kantung-kantung ekonomi menjadi lazim dengan menempuh berbagai macam cara.
Tahap ini juga sekaligus menjadi pintu terbukanya generasi ketiga. Sejalan dengan generasi ketiga ini, disertasi Willy Purna Samadhi, aktivis yang terlibat aktif riset-riset soal demokrasi, menjadi penting untuk saya kemukakan.
Willy mengungkapkan ada empat soalan gerakan aktivis demokrasi yang berkembang saat ini. Pertama, kelemahan membangun gerakan organisasi berbasis massa.
Kecenderungan gerakan saat ini seperti payung, megah di atasnya, tetapi kecil pada pangkalnya. Ini disebabkan juga oleh kelemahan kedua, yaitu tiadanya basis sosial yang solid. Gerakan tercerabut dari akar tunggangannya.
Kelemahan ketiga adalah fragmentasi gerakan. Latahnya gagasan perjuangan kolektif, sehingga imajinasinya dibatasi oleh sekat etnis dan sektoral.
Memang di era kesemrawutan etik ini, standar gerakan bukan lagi oleh basisnya, tapi kekuatan stempel. Belum lagi watak yang serba selebrasi plus pencitraan, sehingga kekuatan gerakan diukur oleh daya rusak yang ditimbulkan.
Kelemahan keempat adalah rentanya kemandirian. Akibatnya orientasinya lebih bergantung pada pragmatisme-temporal untuk menghidupi organisasi, gerakan, dan kawanannya.
Saat kepentingan-kepentingan tersebut tidak terpenuhi, beberapa memilih keluar (exit) untuk membentuk gerakan baru. Fenomena ini mirip dengan generasi ketiga dalam pemikiran Ibnu Khaldun.
Generasi ketiga, merupakan tahapan akhir dari suatu peradaban. Cirinya masyarakat tenggelam dalam kemewahan, penakut, dan kehilangan makna kehormatan, keberanian, dan kenegarawanan.
Soalan-soalan itu memang berkaitkelindan antara satu dengan lainnya. Semakin massifnya ciri generasi tersebut artinya suatu bangsa menuju kehancuran.
Di era generasi ketiga ini, keadaan aktivis yang memilih terus memperjuangkan sebesar-besar manfaat seperti menggenggam bara api. Mereka teralienasi oleh arus besar yang menggempur dari segala lini.
Mereka menjadi penempuh jalan sunyi. Seperti suluh dengan sinar kecilnya, menjadi cahaya penuntun di kegelapan, kompas menuju arah masa depan gemilang, dan tanda seru dari kemapanan rezim yang meninabobokan.(*)
Komentar
Posting Komentar