Terus Menanti
(Bagian 14) |
Telah lama sekali tidak ada kabarnya Hakim, juga Kumala. Waktu bergulir tak pernah peduli, hari berganti tak pernah menanti.
Setelah wisuda, Kumala kini mengabdikan diri pada sekolah bersasis Islam ternama. Ia larut dalam aktivitas mengajar, mendidik siswa menjadi generasi Islam terbaik. Seperti telah mafhum bahwa generasi muda muslim banyak yang kehilangan jati dirinya, melupai amanat agama yang menuntun manusia menuju jalan kebahagiaan, jalan kemenangan dunia dan akhirat.
Mendidik generasi menjadi tekad bulat, azam yang tertanam kukuh dalam sanubari. Kumala tak menginginkan generasi Islam seperti ia yang dulu sebelum hijrah. Ia menyadari bahwa semakin mengejar dunia, semakin menghamba kepada warna-warna dunia, semakin turut pada syahwat dunia, ketenangannya semakin terenggut. Kebahagian temporal dan ketenangan fanalah akhir dari semua itu.
Sesekali, disela-sela sendiri, pikirannya melayang terbayang wajah dan nasihat-nasihat Hakim. Iya, lelaki itu telah merasuk menelusuk ke dalam ruang-ruang kalbunya. Apalah daya, ada kalanya manusia harus tergeletak lemah tak berdaya, mengarungi dan mengendalikan diri yang terkadang semakin liar.
Hakim, lelaki ini telah banyak membuat Kumala menampik secara halus lelaki yang datang meminangnya. Ia masih saja mengharapkan Hakim. Tak perlu panjang lebar, tak perlu menelisik jauh. Rasanya telah bertaut kelindan.
Pernah juga setahun yang lalu, seorang Guru yang merupakan rekan kerjanya, ingin datang melamarnya. “Ibu Mala, jika diizinkan saya akan bertandang ke rumah Ibu, beserta keluarga besar saya”, ucap guru tersebut. “Hm.. Maaf saya jarang ada di rumah”, ucap Kumala. “Saya punya niatan baik yang patut disegerakan kepada Ibu”, jawabnya. “Entahlah, saya masih punya azam dan cita-cita yang mesti saya wujudkan, saya masih punya mimpi”, tampik Kumala. “Saya akan membersamai untuk memperjuangkan mimpi-mimpi itu? Tidakkah mimpi dan cita terbaik adalah ridho Ilahi Rabbi?”, ia coba meyakinkan. “Iya, tapi untuk beberapa waktu saya mesti menuntaskan target-target yang telah saya canangkan”, balas Kumala.
Braaakkk!!! Angin sepoi-sepoi itu menusuk telinga menjadi bisik-bisik setan, mengundang sesal, menyalahkan diri. Suasana pantai yang indah itu, deru ombak yang menyerah di pesisir pantai itu, menjadi seperti badai taufan. Guru tersebut harus puas dengan jawaban apatis yang diberikan Kumala.
“Ayo Pak, diminum es kelapa mudanya”, tukas Kumala menghentikan kelinglungan yang jauh di wajah guru tersebut. “Oh iya Bu! Guru lain kemana ya?”, ia mencoba menghibur diri dan mengalihkan pembicaraan, seolah tidak terjadi apa-apa.
Begitulah Kumala. Ia masih mengharapkan Hakim. Waktu bergulir tak pernah peduli, hari berganti tak pernah menanti, tapi kesan dan kenangan pada seseorang, mengendap kukuh tegak berdiri dalam sanubari setiap insan. Apalah daya manusia lainnya, jika seseorang telah menutup, mengunci kukuh hatinya. Pemandangan indah akan menjadi seperti hampa, burung-burung yang menari elok di angkasa takkan menarik hati, jika fokus pandangan sebenarnya tertuju pada tempat yang lain.
Komentar
Posting Komentar