Musyawarah dan Demokrasi dalam Islam



A. Pendahuluan

Islam adalah agama yang unik, yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala pembicaraan tentang Islam dan kaitannya dengan berbagai bidang tentu harus dipandang melalui kacamata Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut. Al-Qur’an secara etimologi merupakan kata benda bentukan (mashdar) dari kata kerja (fi’il) qara-a (قرأ) yang membaca, dengan demikian Al-Qur’an (القرأن) bermakna bacaan atau yang dibaca[1]. Qur’an secara terminologi adalah kalamullah atau firman Allah swt yang diturunkan kepada Muhammad saw dan membacanya merupakan suatu ibadah[2]. As-Sunnah secara etimologi (السّنّة) artinya “jalan yang dilalui, terpuji atau tidak”, atau berarti “perjalanan”, sedangkan menurut ahli hadits berarti segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), perangai, budi pekerti, maupun perjalanan hidup, baik sebelum diangkat sebagai Rasul maupun sesudahnya[3]. Islam yang berlandaskan kepada Al-Qur’an (kalam Allah swt, pencipta alam semesta dan seluruh sistemnya) dan As-Sunnah (Rasulullah Muhammad saw, sang penerima wahyu dan pengemban misi ilahiah) tentu ajarannya akan mampu berkorelasi kapanpun dan dimanapun di alam semesta ini.





(Sumber Gambar: Google)


Era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) saat ini telah memasuki relung-relung kehidupan pada berbagai bidang, baik sains, agama, hukum, dan politik, yang pengaruhnya hampir dapat dipastikan bahwa perkembangan iptek telah mampu mengubah manusia dan seluruh tatanan kehidupannya. Politik dewasa ini menjadi bidang kehidupan manusia yang paling banyak diminati. Sering diminati karena sering dibicarakan mulai dari wong cilik sampai pejabat pemerintah, dari warung kopi sederhana hingga istana, baik kalangan muslim maupun nonmuslim. Selain sering diminati, politik juga termasuk bidang yang kontroversial, sering memunculkan perdebatan. Sebagian muslim menyerukan tentang penerapan syariat islam, ada juga yang menyuarakan tidak perlu syariat islam yang terpenting adalah implementasi dari nilai-nilai islam (esensi ajaran islam) seperti keadilan, kesetaraan dan lain-lain, ada juga yang berpandangan haram terlibat dalam demokrasi, dan ada pula yang terlibat dalam demokrasi dan memperjuangkan tegaknya daulah islamiyah. Sehingga dipandang perlu, untuk melakukan kajian tentang pandangan islam tentang demokrasi, termasuk menguak kerancuan pemahaman terhadap demokrasi dan musyawarah.


B. Musyawarah


1. Pengertian Musyawarah


Musyawarah, secara etimologi berasal dari bahasa arab. Padanan katanya syura atau al-musyawarah dan al-masyuroh, berasal dari pecahan kata syuwaro. Ibnu Manzhur (w. 711 H) dalam bukunya “Lisan al-Arab” menyatakan, jika dikatakan “syara al-‘asal yasyuuruhu syauran”, yakni mengeluarkan dan memilih masu (dari tempatnya). Abu Ubaid berkata: “syirtu al-asal wa isytartuhu, artinya aku mengambilnya (madu itu) dari tempatnya.” Demikian pula jika dikatakan, “asyirni ‘ala al-asal, artinya bantu aku memindahkan (madu) ini. Jadi asal dari makna syura adalah al-istikhraj (mengeluarkan), al-izh-har (menetapkan) dan al-i’anah (bantuan). Mashdar-nya (akar katanya) adalah masyurah ada pula yang mengatakan musyawarah[4]. Sedangkan makna syura (musyawarah) menurut terminologi berarti tuntutan mengeluarkan pandangan umat atau yang mewakili mereka dalam urusan-urusan publik yang terkait dengan kepentingan-kepentingan mereka[5].


2. Ahli Syura dan Fungsinya


Ahli syura merupakan sebuah istilah yang dikenal pada suatu zaman kekhilafan, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shidiq ra dan pemerintahan Umar bin Khattab ra[6]. Nama lain dari istilah Ahli Syura (Dewan Permusyawaratan), Ahlu al-Hali wa al-Aqdi, Ahlu al-Ikhtiar (Dewan Pemilih), Fudhala’ al-Ummah (tokoh umat), Ahlu al-Ra’yi wa al-Ijtihad (Dewan Pertimbangan dan Penentu Kekuasaan), Ahlu al-Ijtihad wa al-Adalah (Dewan Penentu Keputusan dan Keadilan)[7].


Fungsi Ahli Syura yaitu:
  1. Memilih khalifah dan memberi bai’at padanya
  2. Memilih dan memilah orang-orang yang dicalonkan dalam pemilihan khalifah, dari sisi usia, kapabilitas, dan sebagainya, termasuk jika calon-calon setara dan masing-masing bersikukuh
  3. Memilih calon yang lebih mendatangkan manfat bagi umat
  4. Memecat khalifah[8]

C. Pengertian Demokrasi


Secara etimologis kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani (demokratia). Terdiri dari dua bagian, demos artinya rakyat dan krotos atau kratein yang berarti kekuasaan[9]. Robert Dahl mengatakan “the demos should include all adult subject to the binding collective decissions of the association”, yaitu menyangkut seluruh aspek kehidupan politik, gender, agama, ras hak sosial dan sebagainya. Prinsip utama demokrasi adalah demos yang berarti persamaan. Persamaan yang dimaksud adalah bahwa setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama (hak dipilih dan memilih dan mendapat privilege) dalam berpartisipasi di pemerintahan[10]. Karena itu Munir Fuady mengatakan bahwa sistem pemerintahan demokrasi dipakai sebagai lawan dari sistem pemerintahan tirani, otokrasi, despotisme, totalitarianisme, aritkrasi, oligarki dan teokrasi[11].


D. Negara Muslim dan Demokrasi


Negara muslim yang dimaksud yaitu negara yang menganut islam sebagai dasar negara dan/ atau negara yang masyoritas penduduknya muslim. Negara-negara muslim mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap demokrasi. Negara-negara di Timur Tengah misalnya agak sulit menerima demokrasi, mungkin disebabkan beberapa faktor antara lain: pertama, Demokrasi adalah faham Barat, dimana negara-negara Barat dianggap sebagai biang keladi kehancuran Khilafah Islamiyah di Turki sekitar tahun 1923, sehingga sampai sekarang masih banyak gerakan politik Islam yang ingin mengembalikan Khilafah Islamiyah seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Kedua, ada gesekan peradaban dimana negara-negara Islam semasa berdiri Khilafah Islamiyah pernah berjaya, sehingga ilmuwan politik Amerika yakni Samuel Huntington mengeluarkan tesis perlu adanya dialog peradaban dan yang dimaksud adalah peradaban Timur dan Barat (Islam vs Barat). Ketiga, belum selesainya masalah Palestina dan Israel. Gerakan Palestina melahirkan solidaritas negara-negara Islam Timur Tengah, sedangkan Israel melahirkan solidaritas negara-negara Barat[12].


Disisi lain kemunculan negara-negara Islam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imarah Islam, seperti Imarah Islam Afghanistan, Imarah Islam Kaukasus, Imarah Islam Somalia, dan Daulah Islam Iraq dijadikan penanda dan bukti yang menguatkan bahwa masa kedatangan Khilafah Islamiyyah yang mengikuti metode kenabian sudah semakin dekat[13]. Namun, faktanya negara-negara masyoritas Islam yang lain, seperti Turki (bekas Dinasti Utsmaniyyah) masih menggunakan sistem demokrasi, Presidennya dipilih secara langsung oleh rakyat[14]; Saudi Arabia menjadikan Keluarga Saud sebagai penguasa tetap negerinya dan menduduki posisi-posisi yang penting seperti Raja (Kepala Negara), Perdana Menteri (Kepala Pemerintahan), dan jabatan-jabatan lainnya, bahkan komisi pengawasan pengadilan ditunjuk dan diangkat oleh raja, gubernur dan walikota diangkat atas persetujuan raja yang merangkap seagai kepala negara dan kepala pemerintahan kerjaan Arab Saudi[15] ; Mesir menggunakan sistem Demokrasi, Presiden dipilih oleh Majelis Ummah yang lebih menyetuji kebijakan daripada pengusulan kebijaksanaan, pemerintahan daerah dipimpin oleh seorang gubernur yang diangkat langsung oleh presiden dan mepartaian didominasi oleh pemerintahan[16]; dan Indonesia menggunakan sistem demokrasi sebagai jalan untuk memilih Presiden, Gubernur, Walikota/ Bupati dan Kepala Desa.


E. Musyawarah dan Demokrasi


Musyawarah dan demokrasi dalam sebagai dua sistem, jika ditilim lebih dalam, maka akan ditemukan sisi persamaan dan perbedaannya. Persamaannya adalah sebagai berikut[17]:
  • Pencalonan kepala negara dan proses pemilihannya berasal dari rakyat
  • Menolak sleuruh bentuk kekuasaan mutlak, diktator dan theokrasi (menurut pemahaman barat)
  • Pengakuan akan (kebolehan) berbilangnya partai-partai. Kendati untuk syura harus sesuai dengan aturan syariat sedangkan demokrasi berjalan sesuai dengan hukum demokrasi.
  • Penyerahan kebebasan umum apalagi urusan as-siyasah (pengaturan) dibawah peraturan dan undang-undang umum
  • Hak bagi rakyat untuk memilih dan menentukan wakil mereka unutk menyalurkan aspirasi
  • Tidak diakuinya perkara-perkara yang dapat mendatangkan fitnah (bagi negara) atau revolusi; demikian pula cara-cara kekerasan hukum yang dilakukan pihak penguasa
  • Adanya keterlibatan antara penguasa dan rakyat dalam persoalan (pengawasan) hukum


Perbedaan musyawarah dan demokrasi adalah[18]:
  • Sumber dan sandaran demokrasi rakyat, sedangkan sumber dan pijakan syura adalah wahyu ilahi
  • Kedaulatan dan kekuasaan menurut demokrasi berada ditangan rakyat, sedangkan syura, kedaulatan milik hukum syariat dan kekuasaan diserahkan kepada rakyat
  • Aturan dan undang-undang demokrasi bergantung pikiran manusia (rakyat) yang rentan salah dan berubah, sedangkan syura berpijak pada hukum syariat, yakni al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, qiyas dan sebagainya
  • Kebebasan dalam pengertian demokrasi (kebanyakan) sifatnya tidak terbatas melainkan jika mengganggu kebebasan orang lain, sedangkan kebebasan dalam sistem syura tidak boleh keluar dari batas dan norma-norma kemuliaan akhlak islami
  • Hukum demokrasi dalam artian benar atau salah tegak atas pijakan suara mayoritas secara mutlak, sedangkan hukum dalam syura tegak atas dalil-dalil syariat, dan tidak mutlak pada syara mayoritas

F. Islam dan Demokrasi


Pembahasan Islam dan Demokrasi menjadi kajian yang sangat menarik, seperti halnya pembahasan terkait Islam dan Negara, yang tidak akan pernah kering. Nurcholis Madjid memberikan tiga alasan mengenai hal tersebut, yaitu: (1) Kekayaan sumber bahasan, (2) Kompleksitas permasalahan dan (3) Melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, termasuk kaum muslim sendiri[19].


Dalam hubungan islam dan demokrasi ada golongan yang begitu radikal menolak demokrasi, dan ada juga golongan yang begitu getol memperjuangakn demokrasi berikut ini kita akan mengemukakan kedua pendapat itu.


Kelompok yang menolak demokrasi dan segala perangkatnya berpijak pada dalil-dalil sebagai berikut[20]:
  • Inti syariat islam berseberanagn dengan ajaran demokrasi. Islam mengarahkan umatnya menyembah hanya kepada Allah semata. Segala hukum dan aturan baik yang berkaitan dengan i’tiqad, ibadah, muamalah dan selainnya harus sejalan dengan syariat Allah Ta’ala melalui kitab-Nya, atau sunnah Nabi-Nya atau kaidah-kaidah syar’iyyah yang sejalan dengan maslahat umat.
  • Anggapan sebagian orang bahwa demokrasi merupakan inti ajaran Islam, adalah keliru dan sesat, karena inti demokrasi dan teokrasi barat tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam.
  • Demokrasi merupakan aturan muhdats (bid’ah) dan jelas ditolak.
  • Demokrasi telah menyimpang dalam metode persamaan yang sifatnya mutlak antara seluruh rakyat dalam proses pemilihan.
  • Kebanyakan hasil dari suara mayoritas yang diserukan oleh demokrasi menempatkan seseorang yang tidak kompeten mengatur urusan masyarakat umum.
  • Demokrasi menghancurkan teori kedaulatan hukum.
  • Kedustaan mengatasnamakan “kedaulatan rakyat” dan hukum masyoritas.


Kelompok yang menerima demokrasi secara mutlak berlandaskan pada alasan-alasan sebagai berikut[21]:
  • Demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, bahkan pada hakikatnya ia merupakan inti (jauhar) ajaran Islam. Islam telah mendahului demokrasi menetapkan dasar-dasar yang merupakan inti dan pondasinya. Akan tetapi, menyerahkan penjabaran akan rincian-rinciannya pada ijtihad kaum muslimin, menurut ushul (dasar-dasar) agama, mashlahat dunia, serta perkembangan kehidupan mereka sesuai zaman dan tempat.
  • Asas-asas yang diatasnya tegak sistem dan aturan demokrasi, sebagian besarnya sejalan dengan syariat Islam, seperti asas memilih pemimpin, asas al-ibahah (pembolehan) atau yang dikenal dengan istilah al-hurriyah (kebebasan), asas keterbukaan.
  • Jika demokrasi dimaknai hanya dalam tataran sempit, yakni sebagai kedaulatan rakyat saja, padahal ia merupakan sebuah sistem yang komprehensif dan menyeluruh; maka konsekuensi logisnya adalah seluruh yang tidak merupakan kedaulatan untuk rakyat bukanlah hukum demokrasi, baik penguasa itu sifatnya personal atau kelompok manusia.
  • Tidak ada larangan dalam syariat mengambil pemikiran, konsep, teori, dan alternatif amaliyah dari kalangan non-muslim yang dapat mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin, selama tidak bertentangan dengan nash serta kaidah-kaidah syar’iyyah. Seperti, Nabi saw mengambil metode rakyat Persia dalam perang Ahzab berupa taktik menggali parit atas usulan Salman al-Farisi, Nabi saw mengambil manfaat dari para tawanan perang Badar untuk mengajarkan anak-anak kaum muslimin membaca dan menulis sebagai ganti tebusan mereka, padahal mereka adalah orang-orang kafir.
  • Dalam wilayah aturan-aturan hukum (politik kenegaraan), Islam mencukupkan penetapannya melalui kaidah-kaidah umum dan dasar-dasar yang sifatnya kulliyah (global), bukan aturan yang sifatnya terperinci.
  • Mereka yang menolak demokrasi –dalam arti kekuasaan milik rakyat- secara tidak langsung menggolongkan aturan-aturan hukum Islam bersama aturan-aturan otoriter dan bukan berdasarkan kehendak rakyat.
  • Seluruh perkara yang membawa politik akhak dan manfaat (bagi rakyat) dapat dicapai melalaui hukum demokrasi (hari ini).

G. Kesimpulan


Betapapun banyaknya pandangan tentang musyawarah dan demokrasi, dalam bingkai yang sama, masing-masing menjadikan manusia sebagai subjek. Al-qur’an dan as-Sunnah sebagai dasar dalam setiap gerak dan tingkah laku umat islam dalam tataran konsep memang semua umat islam menyepakatinya. Namun dalam wilayah praktis, penafsiran terkait dua pusaka umat islam itu akan tergantung kepada orang yang menafsirkan. Pada akhirnya juga, akan sama dengan demokrasi, Ulama dalam sistem musyawarah.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, La Ode Ismail, Relasi Agama dengan Negara dalam Pemikiran Islam (Studi atas Konteks Ke-Indonesiaan (Millah Vol. X, Nomor 2, Februari 2011)

Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta, Yayasan Abad Demokrasi, 2011

Rasyid, Fauzan Ali, Demokrasi Indonesia: Pengalaman Negara sebagai Negara Muslim Terbesar (Banjarmasin, Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke-10, tahun 2010)

Samuddin, Rappung, Fiqih Demokrasi: Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik, (Jakarta, Gozian Press, 2013)

Syafiie, Inu Kencana dan Andi Azikin, Perbandingan Pemerintahan (Bandung: Refika Aditama, 2011)

Syamsuddin, Hatta, Modul Mata Kuliah Ulumul Qur’an (1) (Surakarta, Pesantren Mahasiswa Ar-Royan, 2008 M)


Taranggono, Eko, Islam dan Demokrasi Upaya Mencari Titik Temu. (Jurnal Al-Afkar Edisi VI, Tahun Ke-5: Juli Desember 2012)

Yahya, Abu, Imarah Islam Indonesia (Imarah Press, 2012)

Zein, KH. M. Ma’shum, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2013)
----------------------------------------------------

[1] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta, Yayasan Abad Demokrasi, 2011) Hal. 54
[2] Hatta Syamsuddin, Modul Mata Kuliah Ulumul Qur’an (1) (Surakarta, Pesantren Mahasiswa Ar-Royan, 2008 M)
[3] KH. M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2013) Hal. 3-5)
[4] Rappung Samuddin, Fiqih Demokrasi: Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik, (Jakarta, Gozian Press, 2013) Hal. 167
[5] Ibid, Hal. 168
[6] Ibid, Hal. 168
[7] Ibid, Hal.169
[8] Ibid, Hal. 170
[9] Ibid, Hal. 163
[10] Eko Taranggono, Islam dan Demokrasi Upaya Mencari Titik Temu. (Jurnal Al-Afkar Edisi VI, Tahun Ke-5: Juli Desember 2012) Hal. 1-2
[11] Rapung Samuddin, Op. Cit. Hal. 165
[12] Fauzan Ali Rasyid, Demokrasi Indonesia: Pengalaman Negara sebagai Negara Muslim Terbesar (Banjarmasin, Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke-10, tahun 2010), Hal. 444
[13] Abu Yahya, Imarah Islam Indonesia (Imarah Press, 2012), Hal. 5
[14] Inu Kencana Syafiie dan Andi Azikin, Perbandingan Pemerintahan (Bandung: Refika Aditama, 2011) Hal. 80-81
[15] Ibid, Hal. 83-84
[16] Ibid, Hal. 108-109
[17] Rapung Samuddin, Op. Cit. Hal. 172
[18] Ibid, Hal. 173-174
[19]La Ode Ismail Ahmad, Relasi Agama dengan Negara dalam Pemikiran Islam (Studi atas Konteks Ke-Indonesiaan (Millah Vol. X, Nomor 2, Februari 2011) Hal. 272
[20] Rappung Samuddin, Op. Cit. Hal. 175-180
[21] Ibid, Hal. 182-199

Komentar

Populer