IMM: Araklah Penamu Menerjang Arus Sungai (Catatan pada Sekolah Jurnalisme Nasional IMM)
Tak seorang pun tahu kemana alur kehidupan akan membawanya. Hari esok ialah sosok misteri yang sangat pemalu untuk menceritakan dirinya. Ia lembaran yang tak teraba tangan, tak tersentuh dalam pikiran. Tuhan menitahkan kepada sang masa selama 24 jam setiap harinya untuk terus hadir menyajikan kisah-kisah yang terkadang manis ataupun bahkan sangat pahitnya, yang sama untuk setiap manusia, tak jelata, tak juga pejabat.
Sekuncup kata sukur persembahan
kepada Sang Kuasa yang telah mengizinkan dalam rekaman kehidupan dunia yang singkat
ini, mengikuti kegiatan Sekolah Jurnalisme Nasional (SJN) Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Hingga hari ketiga ini, iman menautkan hati-hati yang tak pernah saling kenal sebelumnya, juga titik-titik
cahaya dari narasumber dan fasilitator telah menerangi ruang-ruang gelap. Semakin
mengokohkan simpul-simpul azam jurnalisme yang telah dikobarkan sebelumnya, memahami
tapak-tapak realitas ketakberdayaan umat.
Jurnalisme tak boleh hanya menjadi
profesi untuk mempertajam nalar kritis, lebih-lebih jika hanya untuk memastikan
kehadiran sesuap recehan. Jurnalisme harus diartikan sebagai salahsatu segmen
kehidupan duniawi, yang harus tetap digeluti secara kifayah sebagai
ladang ukhrawi. Profesi jurnalis menggabungkan aktivitas tangan, lisan,
dan diam. Bukankah seorang jurnalis menulis dengan tangan, merangkai kata
dengan nalar yang dilisankan, atau bahkan kata-kata pun adalah lisan yang
tertulis, dan bahkan dalam kondisi diam, tertidur atau bahkan mati, tulisan
bisa tetap abadi, berseru dari bilik kediaman. Jurnalis adalah da’i efektif
mutakhir yang menjadi mata jarum perubahan. Memang tak dapat menggantungkan
segala-galanya kepada jurnalisme, tetapi minimal tidak, jurnalisme dapat
menjadi titik cahaya untuk menerangi ruang-ruang gelap umat.
Pembaca yang budiman, jika diminta
jujur, hal apa yang paling banyak memengaruhi paradigma (sudut pandang, sikap) kita?
Tidakkah layar datar segi empat? Cepat atau lambat, pribadi, keluarga, dan
lingkungan akan tergerus oleh arus informasi dan tayangan-tayangan televisi. Rommy
Fibri anggota Lembaga Sensor Film (LSF) membenarkan bahwa audio-visual-lah yang
paling efektif memengaruhi sudut pandang dan sikap manusia. Pengurus Majelis
Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini pun menuturkan
bahwa di negara yang dimerdekakan dengan pekikan takbir dan mayoritas tumpahan
darah muslimin, belum ada regulasi jelas yang mengatur bioskop. Ironinya,
pengunjung bioskop dari semua kalangan, termasuk anak-anak dan remaja, para
pelanjut generasi. Tak jarang bioskop menampilkan hal-hal yang menodai nilai
dan norma luhur bangsa kita.
Betapa hati tidak merintih dan meronta-ronta,
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF) yang diharap
menjadi penetrasi tayangan-tayangan parasit itu, pada momen-momen tertentu tak sempat
berbuat banyak. Dominasi politis dan bisnis lumrah menjadi kerikil tajam yang
terkadang melambankan bahkan menghentikan gebrakan-gebrakan sucinya. Sekalipun demikian,
seperti kata bijak, kita tak perlu mengutuk kegelapan, lebih baik berupaya untuk
menyalakan lilin. Cepat atau lambat cahaya itu akan bermanfaat, bahkan akan menjadi penunjuk
arah bagi lainnya.
Telah tercatat dalam catatan silam dikala Imran mencari pengasuh anak terkasihnya, Sitti Maryam. Ia memilih Zakaria manusia yang beperibadi kuat tak tergerus oleh hasutan zaman. Pena Zakaria dapat melawan
arus sungai yang deras menerpa, diantara pena lainnya yang tak mampu menerjangi desakan arus yang menghanyutkan. Artinya, Zakaria telah cukup menjadi inspirasi bagi kita untuk mengajak pena bicara menerjangi hegemoni dan dominasi konglomerasi dan hiperkomersialisasi media.
“Jika anda menjadi jurnnalis, berpihaklah
kepada kebenaran. Belajarlah mengatakan yang benar itu benar, jika tidak
hukuman sosial kini dan nanti, pasti mengutukmu, sebab kau tetap bisu padahal
lisanmu belum disegel oleh Tuhan” nasehat Haris Muflih, mantan Ketua Asosiasi
Jurnalis Indonesia (AJI) Kota Mataram, NTB. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) harus
tetap menjadi pegangan kita, walau beberapa atau sebagai besar orang disana,
disini, atau dimana-mana, menjadikan KEJ hanya sebagai sabun mandi”, Jurnalis
NTB Post itu menambahkan.
Komentar
Posting Komentar